Pajak seringkali menjadi topik yang membuat dahi berkerut. Apa yang harus dibayar, siapa penerimanya, dan apa manfaatnya bagi masyarakat. Belum lagi proses pembayaran dan pelaporannya yang rumit. Harus isi formulir panjang, kode - kode yang memusingkan hingga rasa was-was takut salah input. Itu juga yang membuat masyarakat melihat pajak sebagai beban administratif, bukan kontribusi. Padahal, dibalik itu semua, pajak adalah sumber kehidupan bernegara. Dari pajak lah lahir sarana pendidikan, kesehatan hingga infrastruktur seperti jembatan yang kita lewati setiap hari.
Penerimaan Negara atau Pendapatan Negara?
Masih banyak orang yang sulit membedakan antara penerimaan negara dan pendapatan negara. Sekilas terdengar mirip, namun sebenarnya berbeda.
Pendapatan negara adalah uang yang masuk ke kas negara dan menjadi hak penuh pemerintah tanpa kewajiban untuk dikembalikan. Komponennya terpaparkan jelas dalam UU no. 17 tahun 2003 yaitu perpajakan seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dll.
Kemudian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) misalnya royalti sumber daya alam,dividen BUMN, atau biaya layanan publik. Juga ada pendapatan hibah, baik dari dalam maupun luar negeri.
Sedangkan penerimaan negara cakupannya lebih luas lagi. Selain pendapatan negara, di dalamnya juga ada pembiayaan seperti pinjaman luar negeri, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), atau penggunaan Saldo Anggaran Lebih. Artinya penerimaan negara bisa lebih besar daripada pendapatan negara, namun dari penerimaannya terselip utang yang harus dikembalikan.
Dari seluruh sumber itu, pajak memberikan subangsih terbesar. Itu sebabnya, transformasi perpajakan menjadi kunci agar penerimaan negara sehat, adil dan berkelanjutan.
Dari Lapor Manual ke Sistem Otomatis
Hingga hari ini, jutaan wajib pajak di Indonesia masih harus melaporkan SPT tahunan. Walau sudah bisa online, tetap saja banyak yang mengeluh ribet, membingungkan, dan memakan waktu. Sehingga bukannya membayar karena patuh, masyarakat justru takut dengan sanksi yang diberikan.
Padahal, semua informasi tentang penghasilan, transaksi perbankan, kepemilikan aset, PPh, PPN, hingga PBB sebenarnya bisa terintegrasi otomatis. Dari data inilah sistem bisa menyusun laporan pajak bagi setiap warga sepanjang tahun.
Coba kita sederhanakan, di akhir tahun kita tidak lagi mengisi formulir panjang, melainkan hanya menerima bukti laporan pajak yang sudah dihitung sistem. Jika ada kesalahan, kita cukup mengoreksinya. Ringkas, efisien, dan jelas.
Inovasi ini bukan khayalan. Negara seperti Denmark sudah menerapkannya lewat pre-filled tax return. Masyarakatnya tidak perlu repot, hanya perlu menerima laporan, memeriksa kesesuaian data, lalu menyetujui SPT tersebut.
Pajak yang Adil dan Terdistribusi Otomatis
Persoalan terbesar pajak bukan hanya kerumitan administrasi, tapi juga rasa keadilan. Ada yang bisa menghindar, sementara yang lain merasa terbebani lebih besar.
Sistem pajak otomatis bisa menjawab masalah ini. Dengan integrasi lintas sektor, pajak dari PPh, PPN, PBB, hingga cukai bisa ditarik secara proporsional sesuai profil masing-masing wajib pajak.
Golongan atas membayar lebih tinggi sesuai kemampuan, Golongan menengah membayar dengan porsi wajar dan Golongan bawah mendapat keringanan atau pembebasan di sektor tertentu.
Sistem seperti ini seharusnya sudah sangat jelas. data diperbarui secara rutin oleh sektor terkait untuk memastikan akurasi informasi tentang gaji, kepemilikan aset, hingga usaha. Dengan integrasi digital, SPT otomatis memuat semua informasi tersebut dan cukup memberikan bukti laporan pajak sesuai dengan golongan masyarakatnya.
Beberapa negara maju seperti Belanda, Finlandia, Denmark, dan negara Nordik lainnya sudah menerapkan sistem pajak otomatis penuh. Sehingga warga tidak perlu lagi mengetik SPT, data sudah terisi berdasarkan registri nasional dan bisa langsung dikonfirmasi. Beberapa di antaranya juga sudah mengakomodasi tarif progresif secara otomatis dalam laporan pajak tersebut.
Dengan memakai sistem seperti ini, pajak akan benar-benar menjadi instrumen pemerataan, bukan sekadar kewajiban administratif.
Transparansi yang Menumbuhkan Kepercayaan
Masalah lain yang selalu menjadi prahara dalam perpajakan adalah ketidakpercayaan. Banyak orang patuh membayar pajak, tapi tetap bertanya-tanya: “Kemana sebenanya pajak yang saya bayar?
Di sinilah transparansi berperan. Bayangkan jika kita bisa membuka dashboard digital di ponsel, lalu melihat dengan jelas:
Berapa pajak yang kita bayarkan,
Dari sektor apa saja,
Dan kemana alokasinya?
Saya kira laporan tahunan yang dipaparkan Kementerian Keuangan masih kurang transparan.
Padahal setiap instansi dibentuk sesuai dengan fungsinya agar lebih memudahkan pekerjaan masing - masing. Setiap tahunnya, setiap kementerian dan instansi terkait perlu memaparkan atau memberikan laporan pemanfaatan anggaran dari APBN secara nyata baik dalam bentuk laporan digital di media sosial maupun laporan langsung melalui media massa. Yang paling penting, masyarakat perlu diberikan bukti nyata dari penggunaan pajak tersebut.
Dengan begitu, masyarakat tidak lagi takut untuk membayar pajak karena tahu uang yang mereka bayarkan tentu kembali ke mereka dalam bentuk nyata.
Negara maju bisa menjadi contoh bagaimana mereka menjaga transparansi. Data pajak jelas dan otomatis (tidak bisa dimanipulasi). Kemudian alokasi penggunaan pajak dipublikasikan secara rinci, bahkan personal serta adanya akses mudah melalui portal digital, media, dan laporan publik.
Visi Perpajakan Masa Depan
Sistem pajak otomatis bukan sekadar soal digitalisasi. Ini tentang bagaimana negara membangun hubungan baru dengan rakyat: hubungan yang lebih efisien, adil, dan transparan.
Tentu, jalannya penuh tantangan: integrasi data yang belum sempurna, perlindungan privasi, dan regulasi yang harus disesuaikan. Namun, bukankah masa depan selalu dimulai dari keberanian mengambil langkah pertama?
Indonesia punya kesempatan emas untuk menciptakan model perpajakan digital khas nusantara. Sebuah sistem yang membuat pajak tidak lagi dilihat sebagai beban, melainkan sebagai simbol kepercayaan dan kebersamaan dalam membangun negeri.
Indonesia memiliki banyak SDM berkualitas yang berpotensi mewujudkan sistem ini. Jika negara lain mampu merealisasikan maka Indonesia Pun bisa.
Pada akhirnya, pajak bukan sekadar angka. Ia adalah cermin kepercayaan rakyat kepada negara.
Komentar
Posting Komentar