Pajak telah menjadi tulang punggung penerimaan negara Indonesia. Data menunjukkan, pada kuartal I tahun 2025, penerimaan perpajakan masih didominasi oleh sektor non-migas dengan kontribusi terbesar. PPh Non-Migas tercatat sebesar Rp 346,37 triliun atau tumbuh 3,4% year-on-year (YoY), sementara PPN dan PPnBM mencapai Rp 226,69 triliun dengan pertumbuhan 4,5% YoY. Sebaliknya, PPh Migas justru mengalami penurunan sebesar 5,1%, hanya menyumbang Rp 37,53 triliun.
Jika menilik ke tahun sebelumnya, pola serupa sudah terlihat. Pada 2024, realisasi penerimaan pajak tercatat Rp 1.045,3 triliun atau 52,56% dari target APBN, dengan komponen utama berasal dari PPh, PPN, PPnBM, hingga PBB. Fakta ini menegaskan bahwa penerimaan pajak non-migas menjadi tumpuan utama sekaligus potensi terbesar dalam memperkuat penerimaan negara di masa depan, terutama dalam menopang pembangunan tanpa bergantung pada sumber daya alam yang kian fluktuatif.
Pariwisata Sebagai Sumber Penerimaan Pajak Non Migas
Pariwisata sejak lama menjadi wajah Indonesia di mata dunia. Dari Bali, Yogyakarta, Labuan Bajo, hingga Danau Toba, negeri ini dianugerahi kekayaan alam dan budaya yang tiada tanding. Namun di balik keindahan itu, pariwisata juga menyimpan potensi besar sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Tidak hanya dalam bentuk devisa dari wisatawan mancanegara, tetapi juga melalui konsumsi, investasi, serta penerimaan pajak yang menyertainya.
Kini, ketika dunia bergerak menuju era digital, strategi pengembangan pariwisata pun ikut berubah. Promosi berbasis brosur dan baliho tak lagi cukup. Wisatawan mencari informasi melalui ponsel, membandingkan harga lewat platform digital, bahkan menentukan destinasi berdasarkan unggahan media sosial. Di titik inilah promosi digital pariwisata menjadi kunci.
Namun, promosi saja tidak cukup. Indonesia perlu memikirkan bagaimana setiap aktivitas wisata mulai dari belanja oleh-oleh hingga menginap di hotel dapat tercatat secara transparan dan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan. Di sinilah pajak wisata berperan, bukan sebagai beban, melainkan sebagai instrumen cerdas untuk menguatkan penerimaan negara di era digital.
Promosi Digital Pariwisata: Dari Klik ke Kunjungan
Era digital membuka peluang promosi wisata yang jauh lebih luas dan efisien. Dengan satu unggahan video berdurasi singkat di TikTok atau Instagram, sebuah desa wisata bisa dikenal jutaan orang di seluruh dunia. Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan bahwa tren wisata berbasis media sosial terus meningkat, terutama di kalangan generasi muda yang menjadi pasar terbesar pariwisata global.
Promosi digital juga mengurangi ketergantungan pada biaya iklan konvensional. Alih-alih memasang billboard di luar negeri yang mahal, pemerintah daerah atau pelaku pariwisata dapat memanfaatkan influencer, virtual tour, kampanye hashtag, hingga kecerdasan buatan (AI) untuk menyasar calon wisatawan dengan lebih tepat.
Selain itu, promosi digital memberikan ruang lebih besar bagi UMKM lokal. Penjual batik, kuliner khas, atau kerajinan tangan bisa menjangkau pasar wisatawan melalui platform e-commerce dan media sosial. Artinya, bukan hanya destinasi besar yang diuntungkan, melainkan juga komunitas kecil di pelosok negeri.
Tantangan tetap ada. Infrastruktur digital di beberapa daerah wisata masih terbatas, begitu pula literasi digital pelaku usaha. Namun jika tantangan ini bisa diatasi, promosi digital akan menjadi “pintu masuk” yang memperbesar arus wisatawan ke Indonesia.
Pajak Wisata: Dari Belanja Menjadi Kontribusi
Setiap wisatawan yang datang tentu akan berbelanja: menginap di hotel, makan di restoran, membeli cendera mata, hingga menikmati hiburan. Semua aktivitas itu sebenarnya adalah potensi penerimaan negara jika dikelola melalui sistem pajak yang transparan.
Saat ini, pajak yang terkait pariwisata sudah ada, seperti pajak hotel, restoran, hiburan, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun penerapannya masih menghadapi beberapa kendala: pencatatan manual, kebocoran penerimaan, hingga minimnya kepatuhan pelaku usaha kecil.
Digitalisasi pajak bisa menjadi solusi. Dengan sistem pembayaran non-tunai dan pencatatan berbasis aplikasi, transaksi wisatawan akan langsung tercatat secara real-time. Pemerintah daerah bisa mengetahui berapa omzet hotel, restoran, dan toko oleh-oleh, sehingga potensi kebocoran pajak semakin kecil.
Lebih jauh, Indonesia juga bisa meniru praktik negara lain dengan menerapkan VAT Refund untuk wisatawan mancanegara. Skema ini memungkinkan turis asing mengklaim kembali sebagian PPN yang mereka bayarkan, sehingga mereka terdorong untuk berbelanja lebih banyak. Mekanisme refund sekaligus memastikan transaksi tercatat resmi dalam sistem perpajakan.
Hasil dari pajak wisata bukan hanya menambah penerimaan negara, tetapi juga bisa dikembalikan untuk pembangunan infrastruktur daerah wisata: jalan, listrik, jaringan internet, hingga program pelatihan masyarakat lokal. Dengan begitu, wisatawan tidak merasa “diperas”, melainkan berkontribusi pada pembangunan yang mereka nikmati langsung manfaatnya.
Masa Depan Penerimaan Negara di Era Digital
Mengapa pariwisata digital dan pajak wisata penting untuk masa depan penerimaan negara? Ada tiga alasan utama:
Pertama, memperluas basis penerimaan. Selama ini penerimaan negara masih didominasi sektor tertentu, seperti migas dan pajak korporasi. Pariwisata menawarkan diversifikasi sumber penerimaan, terutama dari konsumsi wisatawan.
Kedua, meningkatkan transparansi. Sistem pajak digital akan meminimalkan kebocoran. Setiap transaksi yang dilakukan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, bisa tercatat dengan jelas. Ini sejalan dengan agenda reformasi perpajakan yang lebih adil dan modern.
Ketiga, mendukung pembangunan berkelanjutan. Penerimaan dari pajak wisata bisa digunakan untuk memperbaiki infrastruktur, melestarikan budaya, dan menjaga kelestarian lingkungan di daerah wisata. Artinya, pariwisata tidak hanya mendatangkan devisa jangka pendek, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan jangka panjang.
Dengan proyeksi jumlah wisatawan mancanegara yang terus meningkat pascapandemi, peluang Indonesia untuk menjadikan pariwisata sebagai pilar penerimaan negara digital sangatlah besar.
Sinergi untuk Indonesia
Promosi digital dan penerapan pajak wisata bukanlah dua hal yang terpisah. Keduanya saling melengkapi. Promosi digital mendatangkan wisatawan, sementara pajak wisata memastikan konsumsi mereka memberi manfaat nyata bagi pembangunan nasional.
Namun semua ini tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri. Diperlukan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku industri pariwisata, komunitas lokal, hingga masyarakat digital. Literasi digital harus diperkuat, infrastruktur diperbaiki, dan regulasi perpajakan disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Jika langkah-langkah ini dijalankan, maka pariwisata Indonesia tidak hanya dikenal karena keindahannya, tetapi juga karena kontribusinya yang nyata terhadap penerimaan negara. Pada akhirnya, setiap klik promosi digital yang berhasil menarik wisatawan, setiap belanja oleh-oleh, setiap malam yang dihabiskan di hotel—semuanya akan menjadi bagian dari investasi besar untuk masa depan Indonesia.
Seperti kata pepatah, “wisatawan datang membawa cerita, pulang meninggalkan kontribusi.” Promosi digital dan pajak wisata adalah kunci agar kontribusi itu bisa dirasakan oleh seluruh rakyat, sebagai bagian dari perjalanan menuju penerimaan negara yang adil, transparan, dan berkelanjutan di era digital.
Komentar
Posting Komentar