Tulisan ini merujuk pada sebuah pengalaman tak ternilai yang saya lalui dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun.
***
Rindu kembali menyapa saat saya membuka potret kenangan yang terabadikan tahun 2019 silam. Kenangan menyusuri pelosok dan mengagumi setiap senyum yang terukir di wajah penduduknya. Waktu itu saya rela mengorbankan kesempatan untuk berkarir demi sebuah panggilan hati. Tak terpungkiri rasa kecewa menyelimuti hati dan fikiran saya bahkan saat menginjakkan kaki di atas bus yang akan membawaku ke tempat asing tersebut. Tetapi aku senang, setiap hariku berlalu dengan beragam cerita.
***
Tahun 2019, datangnya kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjajaki sebuah desa yang sangat terpencil dan melihat langsung bagaimana kehidupan masyarakat disana. Desa tersebut adalah Desa Mallusetasi yang terletak di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Kalian mungkin tak akan percaya, jarak dari kota Makassar ke Kab. Bone membutuhkan waktu kurang lebih 7 jam. Untuk masuk ke wilayah kecamatan membutuhkan waktu 2 jam dan jarak menuju ke titik desa adalah 30 menit. Hanya ada dua akses yang bisa dilalui untuk masuk ke desa tersebut. Akses pertama merupakan sebuah jembatan kayu gantung dengan panjang sekitar 500 meter dengan aliran sungai yang dalam nan deras dibawahnya. Dengan kondisi kayu yang mulai tak beraturan, hanya kendaraan roda dua yang bisa melewati jembatan ini. Akses kedua merupakan jalan yang berjarak 20 km dari kecamatan. Jalanannya berliku, lobang dimana – mana serta tanjakan yang tiada henti. Kedua akses tersebut rasanya sama seperti menaiki wahana yang ekstrim.
Pengalaman Mengabdi Di Desa Mallusetasi
Pengabdian saya dan teman – teman KKN di desa Mallusetasi berjalan dengan cukup baik. Kepala desa memberikan tempat tinggal yang nyaman dengan bantuan 1 kendaraan bermotor untuk kami gunakan. Dua hari setelah tiba, kami mengadakan seminar bersama masyarakat dan menyusun program kerja sesuai dengan usulan – usulan yang diberikan.
Kami sempat mengalami kendala untuk berkomunikasi dengan masyarakat karena tidak bisa berbahasa daerah. Karena hanya sedikit masyarakat yang bisa berbahasa Indonesia sehingga kami dibantu oleh salah seorang guru yang juga cukup dikenal disana yaitu Ibu Eni. Dialah sosok yang memperkenalkan kami dengan masyarakat dan tempat – tempat yang ada di desa tersebut. Yang membuat kami terharu adalah ditengah kesibukan Ibu Eni bekerja sebagai guru sekaligus ibu dari 4 anak, ia masih sempat meluangkan waktunya untuk kami.
Bapak dan Ibu Desa juga selalu memperhatikan kami. Setiap hari mereka pasti datang sekadar menanyakan persediaan makanan, bagaimana kondisi air dan bahkan mereka sering mengundang kami untuk makan dirumahnya.
Disela – sela menjalankan program kerja, kami tidak pernah merasa kesepian ketika tinggal di posko. Warga datang silih berganti mengajak kami ngobrol, makan bersama dan berolahraga bersama. Karena jaringan telepon yang kurang bagus, kami benar – benar menikmati waktu bersantai tanpa adanya gadget. Tak ada istilah berkumpul sembari memegang handphone disana. Hal inilah yang membuat kami lebih nyaman selama mengabdi.
Berbagai Tradisi Masyarakat Mallusetasi
Keberagaman Indonesia yang saya saksikan di televisi akhirnya bisa saya lihat secara langsung. Desa Mallusetasi ternyata masih sangat kental dengan adat istiadatnya bahkan dalam persoalan agama sekalipun.
a. Di desa ini, setiap habis melaksanakan shalat di masjid, warga akan melakukan doa bersama kemudian bangkit dan berbaris untuk saling bersalaman. Ketika malam jumat tiba, pengeras suara masjid akan dihiasi dengan lantunan surat yasin oleh warga disana. Menurut imam masjid, warga melakukan tradisi tersebut agar tetap saling mengenal satu sama lainnya, bisa menguatkan iman bersama – sama dan mengajak anak – anak untuk terbiasa mengaji.
b. Saat desa mengadakan pertandingan bola antar kampung, saya diberikan amanah untuk menjadi pembawa acara untuk pembukaan dan penutupan. Sehari sebelum acara, kami dipanggil oleh masyarakat untuk ikut membantu. Saya dan teman – teman KKN lainnya memutuskan datang dan membantu. Saya melihat sebuah alu (alat tumbuk) dan lesung (tempat padi ditumbuk) yang sedang dihias oleh beberapa warga. Lesung tersebut besar sehingga butuh banyak tenaga untuk menghiasnya.
Saya tanya kepada salah satu warga fungsi alu dan lesung tersebut. Mereka bilang lesung akan digunakan oleh para petuah adat (orang yang paling tua) didesa tersebut untuk menumbuk. Nama tradisinya ialah Mappadendang. Mereka tidak menumbuk padi atau benda apapun didalamnya, melainkan menumbuk lesung agar menghasilkan bunyi seperti musik untuk mengiringi mereka bernyanyi. Bukan sembarang orang yang bisa melakukan tradisi tersebut. Para petuah adat harus menggunakan baju bodo (pakaian khas bugis) agar lebih sakral dalam melakukan tradisi tersebut.
Ternyata sejak dahulu masyarakat desa Mallusetasi selalu memulai sebuah acara dengan mappadendang. Kata mereka, ini bukan hanya sekadar nyanyian. Mereka dilatih menggunakan alu bersama – sama agar bisa kompak dalam menyelaraskan bunyinya. Mereka juga selalu berkumpul setiap habis panen untuk melakukan tradisi ini. Tentu saja, semua masyarakat akan datang untuk menyaksikan dan menikmati makanan yang dihidangkan oleh warga perempuan.
c. Ada juga tradisi unik lain yang juga kami lihat didesa ini yaitu Mappalette Bola (angkat rumah). Ketika ada seorang warga yang ingin memindahkan rumahnya (rumah kayu) ke tempat lain maka tradisi inilah yang mereka pakai untuk mengumpulkan warga. Jadi mereka bergotong royong untuk memindahkan rumah kayu tersebut.
Kekompakan warga juga dibutuhkan agar bisa mengangkat rumah bersama – sama dengan cepat dan tidak mengalami kendala. Ibu – ibupun berkumpul untuk membuat teh dan beberapa kue khusus yang harus dimakan ketika melakukan Ale Bola. Disini warga yang telah selesai mengangkat rumah akan duduk melingkari makanan yang diletakkan di atas baki (piring besar) dan bercengkrama. Selain sebagai bentuk tolong menolong sesama warga, kita juga mempererat silaturahmi sesama masyarakat.
d. Pernikahan juga sarat akan tradisi. Tanding domino adalah kegiatan yang diadakan oleh pemilik pesta sehari sebelum pesta digelar.
Warga laki – laki akan berkumpul dan melakukan tanding 4 orang dalam satu meja. Oleh karena itu, saat pertandingan berlangsung, meja akan terisi penuh oleh warga yang berdatangan. Warga perempuan juga tak ketinggalan untuk datang ke rumah pengantin dan bersama – sama menyiapkan makanan tamu di pesta pernikahan nantinya. Jadi akan sangat terasa saat warga ada yang menggelar pernikahan, maka suasana desa akan sangat sunyi
Merawat Kebersamaan Lewat Tradisi
Tradisi yang sangat beragam di Indonesia menyimpan banyak makna dibaliknya. Sebagian dari kita mungkin menganggap tradisi sebagai aktivitas yang dilakukan hanya untuk menghargai nenek moyang kita. Namun, dibalik itu ada hal yang lebih penting dari sekadar melaksanakannya. Ternyata, tradisi sangat membantu mempererat kebersamaan warga di suatu wilayah.
Dari desa Mallusetasi saya belajar bahwa setiap daerah memiliki adat istiadatnya yang telah menjadi ciri khas mereka. Bukan hanya untuk menghargai nenek moyang tetapi juga untuk tetap menyatukan masyarakat dari berbagai kalangan. Oleh karena itu, kita perlu menghargai dan melestarikan tradisi yang ada dimanapun kita berada.
Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan mengikuti lomba “Indonesia Baik” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini






Komentar
Posting Komentar